This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Kamis, 14 Juni 2012

Subjek PPN non-PKP



Pajak Pertambahan Nilai dikenakan kepada siapapun yang melakukan :
1.      Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 ayat (1) huruf b)
2.      Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf d)
3.      Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf e)
4.      Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 16C)
Untuk lebih jelasnya, setiap poin akan dijelaskan satu per satu berikut ini:
1.      Impor Barang Kena Pajak (Pasal 4 ayat (1) huruf b)
Berdasarkan pasal 1 angka 9 UU PPN 1984 dirumuskan bahwa Impor adalah setiap kegiatan memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke adalam Daerah Pabean.  Pasal 4 ayat (1) huruf b ini tidak menentukan status orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan impor, maka impor BKP yang dilakukan oleh siapapun dikenakan PPN.
Dalam hal impor Barang Kena Pajak juga dikenal ada dua jenis kegiatan, yaitu :
a)         Kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak dari luar daerah Pabean yang langsung dilakukan oleh dan untuk kepentingan importir yang bersangkutan. Sebagai objek PPN       adalah kegiatan impor Barang Kena Pajak.
b)         Kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh importir untuk       kepentingan pihak lain selaku indentor. Kegiatan ini dinamakan impor inden. Sama        halnya dengan handling export, sebagai  objek pajaknya disamping kegiatan impor           tersebut juga penyerahan jasa keagenan yang dilakukan oleh Importir.
Saat terutang pajak untuk impor BKP adalah ketika Barang Kena Pajak masuk ke dalam Daerah Pabean. Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan ( yang merupakan Objek Pajak ) tersebut akan dikenakan terhadap pengimpornya. Jadi Pajak Pertambahan Nilai akan ditanggung oleh importir Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak tersebut. Importir akan menyetorkan dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan memasukkan Barang Kena Pajak tersebut kepada Negara. Importir akan melaporkan kegiatan tersebut yang merupakan Objek Pajak setiap bulannya ke Direktorat Jenderal Pajak. Pemungutan atas kegiatan yang merupakan Objek Pajak yang dilakukan dari luar Daerah Pabean akan dipungut oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dalam Pasal 3A UU PPN ditetapkan bahwa Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g, dan huruf h, kecuali pengusaha kecil yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan, wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak dan wajib memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang terutang. Dalam ketentuang ini tidak disebut pengusaha yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf b, yaitu yang mengimpor Barang Kena Pajak. Oleh karena itu, maka pengusaha yang mengimpor Barang Kena Pajak tidak diwajibkan untuk melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, karena kegiatan impor ini tidak harus dilakukan dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya  dan importir bukan Pengusaha Kena Pajak. Siapapun, dengan nama dan bentu apapun dapat mengimpor Barang Kena Pajak, dan dibebani kewajiban membayar PPN/ PPnBM yang terutang.
Importir adalah orang atau badang yang memasukkan barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.  Dalam PMK No. 124/ PMK. 04/ 20007, Importir adalah orang perseorangan atau badan hokum pemilik Angka Pengenal Importir ( API ) atau Angka Pengenal Importir Terbatas  ( APIT ) yang mengimpor barang. Mengapa importir dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah karena kegiatan yang dilakukan oleh importir tersebut merupakan kegiatan yang termasuk kegiatan yang menjadi Objek Pajak Pertambahan Nilai seperti yang tertulis dalam Pasal 4 ayat 1 huruf  b,d, dan e Undang – Undang PPN.
Dari hal – hal diatas dapat disimpulkan bahwa sebagai subjek Pajak Pertambahan Nilai atas kegiatan impor Barang Kena Pajak adalah orang atau badan yang mengimpor Barang Kena Pajak, yaitu memasukkan Barang Kena Pajak dari luar ke dalam Daerah Pabean. Jadi tidak disyaratkan bahwa yang melakukan impor harus importir.

2.      Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf d)
BKP tidak berwujud dapat berupa hak menggunakan merek dagang, hak cipta, dan lain-lain, sama halnya dengan impor BKP, Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPN 1984 tidak menyebut status orang pribadi atau badan yang melakukan keguatan ini, sehingga siapa pun dengan status apa pun melakukan kegiatan ini dikenakan PPN. Contoh PT Pizza Indonesia memanfaatkan BKP tidak berwujud berupa hak menggunakan merek “PIZZA HUT” dari Itali. Pemanfaatan ini dilakukan di dalam daerah pabean, maka atas kegiatan ini dikenakan PPN.
Mekanisme Pengenaan PPN
Meknisme pengenaan PPN atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean diataur dengan PMK Nomor 40/PMK.03/2010 Tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean.
Orang Pribadi atau Badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, wajib untuk :

-
Memungut PPN yang terutang (dari dirinya sendiri).

-
Menyetor PPN yang terutang selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya (setelah bulan pemanfaatan).

-
Melaporkan ke KPP dimana terdaftar paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya (setelah bulan pemanfaatan).
Tata Cara Penyetoran :

-
Penyetoran dilakukan dengan SSP (Surat Setoran Pajak) ke bank persepsi/kantor pos.

-
Kolom identitas Wajib Pajak diisi nama Pengusaha di luar Daerah Pabean.

-
Kolom NPWP diisi dengan angka 0 pada 8 digit pertama, diikuti kode KPP dimana terdaftar pada tiga digit berikutnya.

-
Kolom tanda tangan diisi oleh pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut.
Tata Cara Pelaporan :

-
Dalam hal pihak yang memanfaatkan tersebut berstatus Pengusaha Kena Pajak, pelaporannya menggunakan SPT Masa PPN Masa Pajak yang bersangkutan sebagai pajak Masukan Dalam Negeri (Formulir 1195-B1).

-
Dalam hal pihak yang memanfaatkan tersebut tidak berstatus Pengusaha Kena Pajak, pelaporannya dengan SSP (Surat Setoran Pajak) lembar ke-3.
Saat mulai pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean ditentukan dari peristiwa hukum di bawah ini (mana yang terjadi lebih dahulu) :                     

a.
Saat secara nyata BKP tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut digunakan

b.
Saat harga perolehannya dinyatakan sebagai utang

c.
Saat harga jual atau penggantian ditagih oleh pihak yang menyerahkan

d.
Saat harga perolehan dibayar sebagian atau seluruhnya

e.
Saat ditandatangani surat perjanjian dalam hal saat pada poin a sampai dengan d tidak diketahui
Tata Cara Pengisian SSP untuk membayar PPN yang terhutang atas BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean (SE - 08/PJ.5/1995 Jo 568/KMK.04/2000)

1.
Nama KPP diisi dengan KPP tempat Wajib Pajak DN yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean terdaftar

2.
NPWP diisi dengan angka 0 (nol) pada 9 (sembilan) digit pertama dan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud atau JKP pada 3 (tiga) digit berikutnya dan angka 0 (nol) pada 3 (tiga) digit terakhir. contoh : 00.000.000.0-019.000

3.
Nama WP dan Alamat diisi dengan nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan diluar Daerah Pabean yang menyerahkan BKP Tidak Berwujud atau JKP ke dalam Daerah Pabean

4.
MAP/Kode jenis pajak diisi angka 0131

5.
Kode Jenis Setoran diisi :


a.
101 : untuk pemanfaatan BKP Tidak Berwujud


b.
102 : untuk pemanfaatan JKP dari Luar Daerah Pabean

6.
Uraian Pembayaran diisi penjelasan nama BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean

7.
Masa Pajak diisi dengan masa terhutangnya PPN atas  BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean

8.
Tahun Pajak diisi dengan Tahun terhutangnya PPN  atas  BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean

9.
Jumlah Pembayaran diisi dengan jumlah PPN terhutang

10.
Terbilang diisi dengan jumlah PPN terhutang dalam angka.

11.
Tempat diisi dengan kota/kabupaten tempat Wajib Pajak DN yang memanfaatkan BKP Tidak Berwujud dan JKP dari Luar Daerah Pabean

12.
Tanggal diisi dengan Tanggal dibayarnya PPN terhutang

13.
Wajib Pajak/Penyetor diisi dengan nama dan NPWP pihak yang memanfaatkan BKPTidak Berwujud atau JKP.
Penggunaan Metode Qq Pada Faktur Pajak Standar Faktur Pajak Dan Nota Retur Berdasarkan Se - 09/Pj.531/2000 Penggunaan Metode Qq Pada Faktur Pajak Standar:
1.
Penggunaan Metode QQ Pada Faktur Pajak Standar biasanya dilatarbelakangi oleh keadaan :

a.
Sub Kontraktor adalah PKP yang secara fisik melakukan penyerahan BKP/JKP kepada pemilik proyek sebagai Pemungut PPN dan PPnBM, yang karena suatu kondisi/kebijakan tertentu, sub kontraktor tidak dapat menandatangani kontrak penyerahan BKP/JKP secara langsung dengan pemilik proyek.

b.
Kontraktor Utama adalah PKP yang secara langsung menandatangani kontrak dengan pemilik proyek sebagai Pemungut PPN dan PPn BM, yang karena tidak memiliki suatu sarana yang memadai untuk melaksanakan isi kontrak, maka untuk melaksanakan isi kontrak tersebut, kontraktor utama mengikat kontrak/perjanjian kepada sub kontraktor untuk melaksanakannya. Sehingga dalam hal ini kontraktor utama tidak melaksanakan kegiatan secara fisik isi kontrak namun hanya bertindak sebagai perantara/agen. Dengan demikian penyerahan/kegiatan secara fisik yang dilakukannya adalah penyerahan jasa keagenan.

c.
Pemilik Proyek adalah Badan Pemungut, yang secara fisik melakukan perolehan BKP atau melakukan pemanfaatan JKP dari sub kontraktor yang karena suatu kondisi/kebijakan tertentu tidak dapat menandatangani kontrak perolehan BKP/pemanfaatan JKP secara langsung dengan sub kontraktor.
2.
Pada dasarnya penggunaan metode qq pada Faktur Pajak Standar tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, namun untuk lebih memberikan kemudahan dan pelayanan yang baik kepada Pengusaha Kena Pajak maka penggunaan metode qq pada Faktur Pajak Standar dapat dimungkinkan sepanjang Pengusaha Kena Pajak memiliki itikad baik dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya dan fiskus tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakan fungsi pengawasannya.
3.
Adapun penggunaan metode qq pada Faktur Pajak Standar kolom "Pembeli BKP/Penerima JKP" pada ilustrasi di atas adalah sebagai berikut :

a.
Faktur Pajak Keluaran diterbitkan oleh Sub Kontraktor, pada kolom "Pembeli BKP/Penerima JKP" agar dicantumkan "Nama Kontraktor Utama qq Nama Pemilik Proyek". Alamat dan NPWP pada Faktur Pajak dicantumkan Nama dan Alamat Pemilik Proyek. Asli lembar kesatu Faktur Pajak tersebut hanya untuk Pemilik Proyek, sehingga dengan demikian yang berhak mengkreditkan Pajak Masukannya adalah Pemilik Proyek.

b.
PPN dipungut dan disetor oleh Pemilik Proyek selaku Badan Pemungut untuk dan atas nama Sub Kontraktor. Pada Surat Setoran Pajak (SSP), dicantumkan "Nama Kontraktor Utama qq Nama Sub Kontraktor". Alamat dan NPWP dicantumkan Alamat dan NPWP Sub Kontraktor. Sedangkan NPWP Kontraktor Utama dicantumkan di bawah kotak NPWP. Kolom KPP pada sudut kiri atas SSP dicantumkan KPP tempat Sub Kontraktor terdaftar/dikukuhkan. SSP lembar kesatu hanya untuk Sub Kontraktor.

c.
Kontraktor Utama selaku agen tidak berhak mengkreditkan atau meminta restitusi atas PPN yang dipungut oleh Pemilik Proyek selaku pemungut PPN untuk dan atas nama Sub Kontraktor. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan oleh Kontraktor Utama selaku agen hanya yang berhubungan langsung dengan jasa keagenan.

d.
Kontraktor Utama selaku agen wajib memungut PPN dan membuat Faktur Pajak atas penyerahan jasa keagenan sebesar 10% dari komisi yang diterima, dan menyetorkan serta melaporkannya sesuai dengan ketentuan yang berlaku (mekanisme biasa).
3.      Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean (Pasal 4 ayat (1) huruf e)
Jasa kena pajak adalah jasa sebagaimana dimaksudkan pasal 1 angka 5 UU PPN 1984 yang dikenakan pajak berdasarkan UU PPN 1984, Pasal 1 angka 5 berbunyi sebagai berikut : Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan.
Selanjutnya yang dimaksud dengan pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean yang akan wajib dikenakan PPN adalah sebagaimana dimaksudkan Pasal 1 angka 8 UU PPN 1984 yaitu :“Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean adalah setiap kegiatan pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean”
Pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean agar dapat dikenakan PPN harus memenuhi syarat prinsip destinasi, yaitu dikenakan PPN ditempat dimana jasa tersebut dapat dinikmati/dirasakan manfaatnya, prinsip destinasi ini secara eksplisit tercantum pada bunyi pasal 4 huruf e berikut penjelasannya, Pasal 1 angka 8 dan Penjelasan Pasal 11 huruf d UU PPN 1984.
Adapun yang dimaksudkan daerah pabean berdasarkan UU PPN adalah sebagaimana dimaksudkan Pasal 1 angka 1 sebagai berikut : “Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-undang yang mengatur mengenai kepabeanan”
Jenis JKP dari Luar Daerah Pabean :
a.       Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang melekat pada barang tidak bergerak di dalam Daerah Pabean, misalnya maket bangunan di Indonesia yang dibuat oleh Pengusaha di Singapura.
b.      Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang melekat pada barang bergerak yang dimanfaatkan di dalam Daerah Pabean, misalnya sewa mesin dari Jepang untuk digunakan di Indonesia.
c.       Jasa Kena Pajak yang secara fisik dilakukan di dalam Daerah Pabean oleh Pengusaha dari luar Daerah Pabean, misalnya pemberian jasa konsultasi manajemen yang dilakukan oleh konsultan Amerika kepada wajib pajak di Indonesia. Jika jasa tersebut secara fisik dilakukan di Indonesia dan dimanfaatkan di luar negeri, maka atas penyerahannya tidak terutang PPN.
Siapapun yang memanfatkan jasa kena pajak dari luar daerah pabean tersebut, baik itu Wajib Pajak badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi, baik itu telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak ataupun belum dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam penjelasan Pasal 4 huruf e UU PPN 1984 yaitu : “Jasa yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapapun di dalam Daerah Pabean dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Misalnya, Pengusaha Kena Pajak “C” di Surabaya memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Pengusaha “B” yang berkedudukan di Singapura. Atas pemanfaatan Jasa Kena Pajak tersebut terutang Pajak Pertambahan Nilai”
Saat terutang PPN jasa kena pajak dari luar daerah pabean adalah berkaitan dengan saat pemanfaatan jasa tersebut dan tidak berkaitan dengan saat penyerahan jasa tersebut. Saat terutang PPN dinyatakan dalam Pasal 11 Ayat (1) huruf d dan huruf e UU PPN 1984.
Saat terutang PPN dinyatakan secara lebih jelas dalam Penjelasan Pasal 11 huruf d UU PPN sbb : “Dalam hal orang pribadi atau badan memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, atau memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, maka terutangnya pajak terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean. Hal ini dihubungkan dengan kenyataan bahwa yang menyerahkan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di luar Daerah Pabean, sehingga tidak dapat dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak. Oleh karena itu, saat pajak terutang tidak lagi dikaitkan dengan saat penyerahan, tetapi dikaitkan dengan saat pemanfaatan.”
Saat dimulai pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean adalah saat yang diketahui terjadi terlebih dahulu dari peristiwa-peristiwa di bawah ini :
a.       saat Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut secara nyata digunakan oleh pihak yang memanfaatkannya;
b.      saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dinyatakan sebagai utang oleh pihak yang memanfaatkannya;
c.       saat harga jual Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau penggantian Jasa Kena Pajak tersebut ditagih oleh pihak yang menyerahkannya; atau
d.      saat harga perolehan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan atau Jasa Kena Pajak tersebut dibayar baik sebagian atau seluruhnya oleh pihak yang memanfaatkannya;
e.       saat ditandatangani kontrak atau perjanjian pemberian jasa.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor : 40/KMK.04/2010 tentang Tata Cara Penghitungan, Pemungutan, Penyetoran, Dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan Atau Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean
Tarif pengenaan PPN adalah 10 % dari jumlah yang dibayarkan atau sesuai dengan kontrak, apabila dalam nilai kontrak sudah termasuk PPN maka pajak dihitung 10/110 kali jumlah yang dibayarkan atau yang seharusnya dibayarkan kepada pihak yang menyerahkan jasa kena pajak tersebut.
Pajak yang dipungut harus disetorkan ke Kas Negara paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya setelah bulan terjadinya pemungutan dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN pada masa yang sama dengan bulan penyetoran, SPT Masa PPN tersebut diperlakukan sebagai laporan pemungutan PPN atas pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean.
Dalam kasus orang pribadi atau badan yang bukan PKP maka perlakuannya adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (2) KMK Nomor : 568/KMK.04/2000 sebagai berikut :
“Bagi orang pribadi atau badan yang bukan Pengusaha Kena Pajak, wajib melaporkan pemungutan dan penyetoran Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 ayat (1) dengan mempergunakan lembar ketiga bukti setoran Pajak ke Kas Negara paling lambat pada tanggal 20 bulan penyetoran ke Kantor Pelayanan Pajak yang wilayahnya meliputi tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan tersebut.”

4.      Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan (Pasal 16C)
Definisi PPN kegiatan membangun sendiri (PPN KMS) adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain (NOMOR 39/PMK.03/2010).
Berdasarkan memori penjelasan UU PPN disebutkan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai KMS adalah dengan pertimbangan sebagai berikut :
  • sebagai upaya untuk mencegah terjadinya penghindaran pengenaan Pajak Pertambahan Nilai;
  • untuk memberikan perlakuan yang sama dan untuk memenuhi rasa keadilan antara pihak yang membeli bangunan dari Pengusaha Real Estate atau yang menyerahkan pembangunan gedung kepada pemborong dengan pihak yang membangun sendiri;

Dasar hukum pemungutan PPN KMS adalah sebagai berikut:
  1. Pasal 16C Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009;
  2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 39/PMK.03/2010 tentang Batasan dan Tata Cara Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri;
  3. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-27/PJ/2010 tentang  Tata Cara Pengisian Surat Setoran Pajak, Pelaporan, dan Pengawasan Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas Kegiatan Membangun Sendiri.
Objek Pajak PPN KMS adalah Kegiatan Membangun Sendiri. Kegiatan Membangun Sendiri adalah kegiatan membangun bangunan yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain. Bangunan dimaksud adalah satu atau lebih konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada satu kesatuan tanah dan/atau perairan dengan kriteria:
  1. konstruksi  utamanya terdiri dari kayu, beton, pasangan batu bata atau bahan sejenis, dan/atau baja;
  2. diperuntukkan bagi tempat tinggal atau tempat kegiatan usaha; dan
  3. luas keseluruhan paling sedikit 300 m2 (tiga ratus meter persegi).
(Syarat ini bersifat kumulatif, artinya semua harus terpenuhi, jika salah satu kriteria tidak terpenuhi menjadi tidak terutang PPN KMS)
Subjek Pajak PPN KMS sebagaimana sebenarnya sudah disebutkan di atas yaitu orang pribadi atau badan. Secara materil, PPN KMS dapat dipelajari sebagaimana skema di bawah ini:







 














Tarif dan Dasar Pengenaan Pajak
  • Kegiatan membangun sendiri dikenai Pajak Pertambahan Nilai dengan tarif 10% dari Dasar Pengenaan Pajak.
  • Dasar pengenaan pajak atas kegiatan membangun sendiri adalah 40% dari seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan, tidak termasuk harga perolehan tanah.
  • Termasuk pengertian seluruh biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan untuk membangun sendiri adalah juga jumlah Pajak Pertambahan Nilai yang dibayar atas perolehan bahan dan jasa untuk kegiatan membangun bangunan tersebut.
Saat dan tempat pajak terutang
  • Saat terutang PPN KMS adalah saat dimulainya secara fisik kegiatan membangun sendiri.
  • Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan secara bertahap dianggap merupakan satu kesatuan kegiatan sepanjang tenggang waktu antara tahapan-tahapan tersebut tidak lebih dari 2 tahun.
  • Tempat terutang atas kegiatan membangun sendiri adalah di tempat bangunan didirikan.
Penyetoran dan pelaporan
Hal penting dalam sistem perpajakan kita di Indonesia tercinta adalah menganut self assesment artinya Wajib Pajak menghitung pajaknya sendiri, menyetor ke kas negara dan melaporkan ke kantor pajak dilakukan sendiri tanpa menunggu ketetapan dari kantor pajak. Kemudian bagaimana mekanisme pembayaran dan pelaporan PPN KMS, berikut paparannya.
  • PPN KMS terutang sebesar 10% x 40% x jumlah biaya yang dikeluarkan atau dibayarkan pada setiap bulannya, dan harus disetorkan ke kas negara dengan kode MAP 411211 (PPN Dalam Negeri) dan KJS 103 (Setoran Kegiatan Membangun Sendiri) paling lama tanggal 15 bulan berikutnya.
  • Orang pribadi atau badan yang melakukan kegiatan membangun sendiri, wajib melaporkan pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang wilayah kerjanya meliputi tempat bangunan tersebut berada.
Contoh Kasus.
Si Fulan membangun rumah seluas 400 m2 selesai dalam 3 bulan. Biaya pembangunan selama 3 bulan tersebut adalah: April 2010 : Rp 150.000.000 Mei : Rp 200.000.000 Juni : Rp 175.000.000 Maka PPN yang harus dibayar atas serangkaian kegiatan tersebut adalah sebagai berikut;
  • Atas biaya yang dikeluarkan selama bulan April 2010 adalah sebesar Rp 150.000.000 X 4% = Rp 6.000.000, harus dibayar paling lambat tgl 15 Mei 2010 dan dilaporkan paling lambat akhir bulan Mei 2010.
  • Atas biaya yang dikeluarkan selama bulan Mei 2010 adalah sebesar Rp 200.000.000 X 4% = Rp8.000.000,- harus dibayar paling lambat tgl 15 Juni 2010 dan dilaporkan paling lambat akhir bulan Juni 2010.
  • Atas biaya yang dikeluarkan selama bulan Juni 2010 adalah sebesar Rp 175.000.000 X 4% = Rp 7.000.000,- harus dibayar paling lambat tgl 15 Juli 2010 dan dilaporkan paling lambat akhir bulan Juli 2010.